TATA
CARA BERPERKARA PADA BADAN DI PERADILAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Sumber Hukum Acara Badan-Badan
Peradilan
Pengertian dari tata cara disini adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak,satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.[1]
Menurut Pasal 54 UU Nomor 7 tahun 1989 hukum acara
badan-badan peradilan bersumber kepada dua aturan yaitu: yang terdapat dalam UU
Nomor 7 tahun 1989 dan yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.[2]
Peraturan perundangan yang menjadi inti hukum acara
perdata peradilan umum antara lain:
1.
HIR atau disebut juga RIB (Reglement
Indonesia yang di Baharui)
2.
RBg atau disebut juga Reglemen untuk
daerah Seberang, maksunya untuk luar Jawa-Madura.
3.
Rsv yang zaman jajahan Belanda dahulu
berlaku untuk Raad van Justitie.
4.
BW atau disebut juga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Eropa.
5.
UU Nomor 2 tahun 1986, tentang
Peradilan Umum.
Peraturan perundangan tentang acara perdata yang
sama-sama berlaku untuk peradilan umum dan peradilan agama adalah:
1.
UU Nomor 14 tahun 1970, tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2.
UU Nomor 14 tahun 1985, tentang
Mahkamah Agung.
3.
UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9
tahun 1975 tentang perkawinan dan pelaksanaanya.
B.
Bentuk Isi Dan Kelengkapan Surat
Gugatan atau Permohonan
Apa yang dituntut oleh penggugat disebut gugatan
sedangkan apa yang diminta oleh pemohon disebut permohonan, biasa juga disebut
surat gugatan dan surat permohonan.
1)
Surat Gugatan
Bentuk dan isi surat gugatan secara garis besarnya
terdiri dari segi komponen, yaitu:
Syarat-syarat
Gugatan
v Syarat Formil
Syarat formal dari suatu gugatan, dapat dirinci
sebagai berikut :
a.
Tempat dan tanggal pembuatan surat
gugatan
Dalam surat gugatan biasanya
disebutkan secara tegas tempat dimana gugatan itu dibuat. Misalnya apakah
gugatan dibuat di tempat domisili penggugat atau di tempat kuasanya.
Selanjutnya disebutkantanggal, bulan dan tahun pembuatan gugatan itu. Tanggal
yang termuat pada kanan atas surat gugatan itu hendaklah sama dengan tanggal
yang dimuat pada materai surat gugatan. Apabila terdapat perbedaan tanggal, maka
tanggal pada materai yang dianggap benar.
b.
Materai
Dalam prakteknya, surat gugatan wajib diberi
materai secukupnya. Suatu surat gugatan yang tidak dideri materai bukan
berarti batal, tetapi akan dikembalikan untuk diberi materai. Pada materai itukemudian
diberi tanggal, bulan dan tahun pembuatan atau didaftarkannya gugatan itu diKepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.
c.
Tanda Tangan
Tanda tangan dalam Surat Gugatan merupakan syarat
formil sebagaimana ditegaskanoleh Pasal 118 ayat (1) HIR, bahwa bentuk surat
permohonan ditandatangani penggugat ataukuasanya.
Menurut Pasal St. 1919-776, Penggugat yang tidak dapat menulis, dapat
membubuhkan Cap Jempol berupa ibu jari tangan di atas Surat Gugatan
sebagai pengganti tanda tangan. Surat Gugatan
yang dibubuhkan Cap Jempol selanjutnya dilegalisir di pejabat yang berwenang
misalnya Camat, Notaris, Panitera, namun bukan hal yang
´Imperatif´ mengakibatkan (rechts gevolg) gugatan
menjadi cacat hukum secara formil, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah
AgungNo. 769 K/Sip/1976 yang berbunyi:
....cap jempol yang tidak
dilegalisir, tidak mengakibatkan surat gugatan
batal demi hukum (van rechtswege nietig), tetapi cukup diperbaiki dengan jalan
menyuruh penggugat untuk
melegalisir”
v Syarat Materil
a.
Identitas Para Pihak
Dalam suatu surat gugatan haruslah jelas diuraikan
mengenai identitas Penggugat/Para Penggugatatau
tergugat/para tergugat. Identitas itu umumnya menyangkut :
1) Nama lengkap
2) Tempat Tanggal Lahir/ Umur
3) Pekerjaan
4) Alamat atau domisili
Dalam hal penggugat atau tergugat adalah suatu
badan hukum, maka harus secara tegas disebutkandan siapa yang berhak
mewakilinyamenurut anggaran dasar atau peraturan yang berlaku. Atau adakalanya
kedudukan sebagai penggugat atau tergugat itu dilakukan oleh cabang dari badan
hukum itu,maka harus secara jelas disebutkan mengenai identitas badan hukum
itu.
Penyebutan identitas para pihak dalam gugatan.
Penyebutan ini merupakan syarat mutlak
(absolute) keabsahan
Surat Gugatan, yang apabila tidak dicamtumkan berimplikasi pada gugatan cacat
hukum. Landasarn yuridis keharusan pencamtuman identitas adalah untuk
penyampaian panggilan dan pemberitahuan.
b.
Dasar-dasar gugatan (Fundamentum
Petendi/Posita)
Dasar gugatan (grondslag van de lis) adalah
landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yangwajib dibuktikan oleh Penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal
1865 KUH Perdata danPasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa, setiap orang yang
mendalilkan suatu hak, atau gunameneguhkan haknya maupun membantah hak orang
lain, diwajibkan membuktikan hak atauperistiwa tersebut.
c.
Petitum
Dalam Pasal 8 Nomor 3 RBg
disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkanoleh penggugat
agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Tuntutan ini akan terjawab di
dalamamar putusan. Oleh karena itu petitum
harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebabtuntutan yang tidak jelas maksudnya dapat mengakibatkan tidak diterima
atau ditolaknya tuntutantersebut oleh hakim. Disamping itu petitum harus
berdasarkan hukum dan harus didukung pula olehposita. Posita yang tidak
didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan,sedangkan
petitum yang tidak sesuai dengan posita maka akibatnya tuntutan ditolak oleh
hakim.
Dalam praktek peradilan,
petitum dapat terbagi ke dalam tiga bagian yaitu:
1)
Petitum Primer
Petitum ini merupakan
tuntutan yang sebenarnya atau apa yang diminta oleh penggugat sebagaimanayang
dijelaskan dalam posita. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang
diminta ataudituntut.
2)
Petitum Tambahan
Merupakan tuntutan pelengkap dari pada tuntutan
primer. Biasanya dapat berupa:
Ø Tuntutan
agar tergugat membayar biaya perkara.
Ø Tuntutan
uitvoerbaar bij voorraad, yaitu tuntutan agar putusan dinyatakan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi;
Ø Tuntutan provisionil, yaitu hal yang dimintakan oleh
penggugat agar dilaksanakan tindakan sementara yang sangat mendesak sebelum
putusan akhir diucapkan.
Ø Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga
muratoir.
Ø Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang
paksa.
3)
Petitum Subsider
Diajukan oleh penggugat untuk mengantisipasi
barangkali tuntutan pokok atau tambahan tidak diterima oleh hakim. Biasanya tuntutan ini berbunyi ´agar hakim
mengadili menurut keadilan yang benar:´ atau ´mohon putusan yang
seadil-adilnya.
Cara dan Teknik
Pembuatan Surat Gugatan
Langkah-langkah persiapan
Pada hakekatnya langkah-langkah persiapan cara dan
teknik pembuatan surat gugatan itu meliputi tindakan sebagai berikut :
1.
Teknik mempelajari obyek sengketa penggugat
dan kuasanya haruslah benar-benar menguasai bahwa obyek sengketa
merupakanpangkal pokok gugatan serta penggugat merupakan pihak yang memiliki
kepentingan terhadapbarang tersebut.Teknik mempelajari obyek sengketa haruslah
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
Ø Karena
keberhasilan suatu surat gugatan tergantung adanya obyek sengketa, maka
diperlukan tindakan secara cermat, teliti dan terperinci dari penggugat atau
kuasanya terhadap eksistensi obyek sengketa baik secara formal maupun material dalam
surat gugatan. Misalnya apabilaobyek sengketa berupa tanah, maka dalam surat
gugatan hendaknya dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana cara
memperolehnya, hubungan hokum dengan penggugat, luas dan batas-batas tanah
tersebut sebagaimana tercantum dalam sertifikat hak milik.
Ø Dalam
mempelajari teknik obyek sengketa haruslah diperhatikan masalah kompetensi
dimanasurat gugatan tersebut harus diajukan. Apabila hal ini diabaikan maka
berakibat gugatan tidak dapat diterima. Khusus terhadap tanah, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan Negeridimana tanah itu terletak (pasal 142
Rbg).
Ø Bahwa
dalam mempelajari obyek sengketa hendaknya harus diperhatikan penguasaan
terhadapketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, surat edaran
mahkamah agung danperaturan mahkamah agung RI yang berlaku dan diterapkan dalam
praktik.
Ø Bahwa
dalam mempelajari teknik obyek sengketa harus dicermati dengan seksama
bahwapenggugat benar-benar sebagai pemilik barang dari obyek sengketa atau
merupakan empunyayang berhak atas hak tertentu. Untuk itu perlu dicermati
terhadap alat-alat bukti yang dapatberupa bukti surat, saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah
2.
Kelengkapan formal surat gugatan
Setelah tahap teknik mempelajari obyek sengketa, maka berikutnya hendaknya
diperhatikanmasalah kelengkapanformal dari surat gugatan. Kelengkapan formal
ini meliputi subyek gugatanbaik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat atau
turut tergugat. Pada kelengkapan formalini hendaknya harus jelas identitas
(nama, umur dan alamat) para pihak yang berperkara dankhusus terhadap pihak
yang digugat haruslah semuanya di ikutsertakan sebagai tergugat/turuttergugat
dalam surat gugatan itu. Hal ini haruslah dicermati secermat mungkin dan
diperhatikansecara baik oleh karena apabila kelengkapan formal dari surat
gugatan diabaikan, misalnya adapihak yang seharusnya digugat akan tetapi
ternyata dalam surat gugatan mereka tidak digugatmaka akan berakibat surat
gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima.
3.
Kelengkapan material surat gugatan,
Kelengkapan material ini pada asasnya walaupun lebih intens akan dipergunakan
pada tahappembuktian hendaknya harus telah dipersiapkan seawal dan sedini
mungkin, khususnya terhadap alat-alat bukti.
2)
Surat Permohonan
Surat permohonan supaya dibuat sesuai prinsipnya
yaitu tidak ada lawan, jadi bentuknya tidak jauh dari surat gugatan. Dengan
demikian identitas pihak hanyalah pihak pemohon saja, bagian positanya adalah
tentang situasi hukum atau peristiwa hukum yang dijadikan dasar terhadap apa
yang dimohonkan oleh pemohon dalam bagian petita.
Perbedaan inti dari surat gugatan dan surat
permohonan adalah bahwa pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat
“berlawanan dengan” kalimat “duduk perkaranya” dan kalimat permintaan membayar
biaya perkara kepada pihak lawan”.[3]
3)
Gugatan/permohonan Lisan
Kalau permohonan diajukan secara lisan maka
Panitera atas nama ketua pengadilan membuat catatan yang diterangkan oleh
penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut catatan gugat atau catatan
permohonan.
C. Penerimaan Perkara Pada Badan Peradilan
1.
Penerimaan Perkara
Pendaftaran perkara diajukan kepada Pengadilan
Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I
dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan adalah sebagai berikut:
a)
Menerima gugatan permohonan,
perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali (PK),
eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
b)
Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tesebut kepada calon penggugat atau
pemohon.
c)
Menyerahkan kembali surat gugatan
atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
d)
Menaksir biaya perkara sebagaimana
ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang kemudian dinyatakan
dalam SKUM.
e)
Memberikan penjelasan-penjelasan yang
diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat Ketua
Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari
1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994.
2.
Membayar Panjar Perkara
Pembayaran panjar perkara dilakukan dibagian
pemegang kas. Kas merupakan bagian meja I. Tugas pemegang kas:
a.
Pemegang Kas menerima pembayaran uang
panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
b.
Pemenggang Kas menandatangani SKUM,
membubuhi nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan
dalam surat gugatan/permohonan sebagaimana tersebut dalam buku jurnal yang
berkaitan dengan perkara yang diajukan.
c.
Mengembalikan asli serta tindasan
pertama SKUM beserta surat gugatan/Permohonankepadacalonpenggugat/pemohonan
3.
Penunjukan Majelis Hakim Dan
Penetapan Hari Sidang
Ø Penunjukan Majelis
Hakim Oleh Ketua Pengadilan
Penetapan
PMH memakai kode indeks surat keluar biasa dan isinya menunjuk siapa-siapa
hakim yang akan menangani perkara yang dimaksud, siapa hskim ketua dan anggota,
mungkin juga ditunjuk pula panitera sidangnya.
Bila
sesewaktu karena berbagai sebab harus terjadi pergantian hakim maka PMH semula
harus dicabut atau diganti dengan PMH baru, jika hakim yang ditunjuk dalam PMH
belum sama sekali pernah sidang atau kalau pergantian ketua majelis. Jika sudah
pernah sidang, atau penggantian ketua majelis hanya sewaktu pengucapan putusan
PMH tidak perlu dicabut/diganti, cukup dimuat saja dalam berita acara sidang.
Ø Penetapan hari
sidang oleh ketua majelis.
4.
Pemanggilan Para Pihak
Mengenai pemanggilan pihak-pihak ada 2 yaitu
menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 dan menurut
HIR/RBg(Peradilan Umum). Kami akan mengambil menurut HIR/RBg(Peradilan Umum)
dikarenakan lebih umum dan waktunya tidak terlalu jauh dengan tahun sekarang.
Ketentuan Pemanggilan menurut HIR/RBg (Peradilan
Umum) sebagai berikut:
a)
Jika Pemanggilan pertama untuk sidang
pertama kepada penggugat atau pemohon telah dilakukan dengan resmi dan patut
tetapi ia atau kuasa sahnya tidak hadir, maka sebelum perkaranya diputus dengan
digugurkan, ia dapat dipanggil untuk kedua kalinya. Resmi yaitu bertemu
langsung secara pribadi dengan para pihak atau kuasa hukumnya. Apabila tidak
bertemu dengan para pihak, maka penggilan disampaikan melalui Kepalan Desa/
Kelurahan setempat. Patut yaitu panggilan harus sudah dapat diterima minimal 3
(tiga) hari sebelum sidang pertama dilaksanakan.
b)
Pemanggilan terhadap para pihak yang
berada diluar yuridiksi dilaksanakan dengan meminta bantuan Pengadilan Agama
tempat para pihak berada untuk memanggil yang bersangkutan. Selanjutnya,
Pengadilan Agama tersebut mengirim relaas kepada Pengadilan Agama yang meminta
bantuan.
c)
Panggilan terhadap tergugat atau
termohon yang berada di luar negeri dilakukan melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat, dengan ketentuan:
Ø Untuk
perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan untuk beristri lebih dari
seorang dan perkara gugatan cerai,secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam
bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama.
Ø Untuk
perkara selainnya, dengan memperhitungkan selambat-lambatnya penggilan sudah
diterima dan memperhitungkan waktu untuk yang dipanggil itu datang menghadap
Pengadilan Agama yang bersangkutan.
Ø Jika
tergugat atau termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, sedangkan
perkara itu bukan tentang gugatan cerai, maka panggilan kepada yang tidak
diketahui tempat tinggalnya tersebut dilakukan dengan cara menempelkan
panggilan pada Papan Pengumuman Pengadilan Agama, dengan tenggang waktu antara
panggilan dan sidang adalah 30 hari. Adapun untuk selain perkara perkawinan, pemanggilan
dilakukan dengan cara diumumkan di papan pengumuman Pemerintah Kabubaten / Kota
setempat.[4]
D. Pemeriksaan Serta Penyelesaian Perkara Pada Badan
Peradilan
Pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang
Pengadilan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a)
Tahap sidang pertama. Tahap ini
terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan identitas para
pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat / pemohonan,
dan (4) anjuran untuk berdamai.
b)
Tahap jawab-berjawab (replik-duplik).
Setelah pembacaan gugatan/permohonan, kemudian upaya damai tidak berhasil,
ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan
menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan
kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki
kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara
pihak, maupun antara hakim dengan para pihak.
c)
Tahap pembuktian. Tahap pembuktian
dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu,
hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara.
d)
Tahap penyusunan konklusi, setelah
tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis bermusyawarah, pihak-pihak
diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari
sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini
sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi
perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh meniadakannya.
e)
Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah
hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin
disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya
dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang musyawarah
majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran
Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan.
f)
Pengucapan Keputusan, pengucapan
keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan
diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat,
apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan
menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi
pihak yang menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, melakukan upaya
untuk banding.
DAFTAR
PUSTAKA
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di
Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta1980
Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan
Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar